KOPI, MARABAHAN - Pulau Kambang adalah sebuah pulau yang terletak di Daerah Selatan Wilayah Kabupaten Barito Kuala yang berbatasan dengan Wilayah Kota Banjarmasin. Pulau Kambang ini banyak sekali keistimewaannya terutama penghuninya adalah warik (kera) yang sangat jinak dan suka berbaur dengan para pengunjung yang datang berwisata ke Pulau ini. Jangan kaget kalau anda berwisata ke Pulau ini saat klotok (perahu bermotor) tiba di pelabuhan, anda sudah disambut oleh ratusan warik-warik (kera) yang sangat jinak, sehingga banyak wisatawan yang baru mengenal pulau ini jantungnya berdebar keras karena takut dengan warik-warik tersebut.
Alhasil kalau anda datang ke Kota Banjarmasin atau ke Barito Kuala tidak lengkap kalau tidak berwisata ke Pulau Kambang. Selain pengunjung yang ingin melihat warik-warik, ada pula pengunjung yang sengaja ke Pulau Kambang karena mempunyai niat atau nazar tertentu. Di pulau ini terdapat altar yang digunakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu sebagai tempat meletakkan kambang untuk dipersembahkan kepada "penjaga" Pulau Kambang. Altar tersebut dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih. Jika permohonan mereka dikabulkan, biasanya mereka melepaskan seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas sebagai tanda atau ucapan terima kasih kepada "penjaga" Pulau Kambang.
Kenapa Pulau Kambang dijadikan sebagai tempat berziarah? Lalu, bagaimana dengan keberadaan warik-warik tersebut? Ternyata, Pulau Kambang sebagai tempat berziarah dan keberadaan warik-warik tersebut memang memiliki cerita tersendiri di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan cerita Pulau Kambang. Konon, pada zaman dahulu kala, di Muara Sungai Barito berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kuin. Letaknya yang strategis menjadikan kerajaan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negeri.
Selain letaknya yang strategis, kerajaan ini mempunyai seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa. Namanya Datu Pujung. Ia merupakan andalan dan benteng pertahanan Kerajaan Kuin untuk menghalau segala ancaman yang datang dari luar. Asal Mula Pulau Kembang Suatu hari, sebuah jung besar berasal dari negeri Cina berlabuh di Sungai Barito. Meskipun di dalam jung itu terlihat kesibukan yang luar biasa, tidak seorang penduduk negeri yang mengetahui apa sebenarnya yang mereka kerjakan dalam jung itu. Penduduk negeri juga tidak tahu maksud kedatangan mereka. Layaknya tamu, semestinya mereka mengirim utusan menghadap kepada penguasa negeri.
Lama ditunggu, tak seorang pun yang keluar dari jung itu untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Sikap yang demikian itu membuat penguasa negeri menjadi lebih berhati-hati. Seluruh pengawal pelabuhan dipersiapkan untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Keesokan harinya, sebuah perahu yang sarat serdadu berseragam dan bersenjata lengkap merapat di tepian sungai. Seorang di antaranya melompat ke darat sambil menambatkan seutas tali di kayu ulin yang sengaja dijadikan titian.
"Wahai, anak negeri! Sebelum pertumpahan darah terjadi, kalian semua disarankan untuk menyerah. Jika tidak, negeri ini akan kami musnahkan. Siapapun yang berani melawan akan kami bunuh, dan yang tidak melawan kami jadikan sebagai budak tawanan!" ujar seorang utusan. Datu Pujung menjawab ancaman itu dengan kata-kata yang halus, "Musuh bagi kami tidak dicari. Bila datang, pantang bagi kami untuk menghindarinya." Lalu, Datu Pujung balik bertanya, "Apakah kalian mampu mengalahkan kami?"
Ucapan Datu Pujung membuat utusan itu geram. "Hai, orang tua! Berani sekali kamu berkata begitu. Apakah kamu minta bukti keperkasaan kami?" balas utusan itu. "Ya, begitulah," jawab Datu Pujung dengan penuh wibawa. "Hai, prajurit! Kepung dan tangkap mereka!" perintah sang Kepala Utusan. Namun, sebelum serdadu-serdadu tersebut bergerak, Datu Pujung melompat ke arah sang Kepala Utusan dan menorehkan sebilah pisau ke leher orang yang mengancam tadi.
"Tidak bijaksana. Sama sekali tidak bijaksana. Sama dengan tidak bijaksananya pisauku ini. Ia akan menoreh dan membuat lehermu berlubang bila anak buahmu meneruskan langkahnya," gertak Datu Pujung sambil menggores-goreskan pisaunya di leher sang Kepala Utusan.
Melihat keselamatan pemimpinnya terancam, para serdadu mengurungkan niatnya. Mereka tidak berani bergerak sedikit pun. Datu Pujung mundur selangkah. Sambil berbalik ia menawarkan sebuah taruhan. "Hai, Kepala Utusan! Di antara kita tidak perlu ada pertumpahan darah jika tawaranku ini kamu terima secara kesatria!" ujar Datu Pujung. "Apa itu?" balas si Kepala Utusan penasaran.
"Tariklah pohon ulin yang kalian jadikan titian itu sampai ke sini. Dengan senjata yang kalian miliki, penggal pohon itu menjadi dua potong. Jika kalian sanggup melakukannya, seluruh daerah ini akan menjadi milik kalian. Tapi sebaliknya, jika tidak mampu, dengan penuh hormat kami persilahkan kalian meninggalkan daerah ini sebelum kami berubah pikiran," ancam Datu Pujung sambil menunjuk tebangan pohon ulin sebesar drum yang panjangnya tidak kurang dari sembilan depa.
"Tawaranmu kami terima, orang tua!" sambut Kepala Utusan dengan jumawa. "Kalau begitu. Bersiaplah untuk menarik kayu ulin itu," ujar Datu Pujung. Mendengar ujaran itu, si Kepala Utusan terdiam. Sepertinya ia mulai ragu pada kemampuannya. Bagaimana mungkin ia bisa mengangkat kayu sebesar drum dan panjang itu. Datu Pujung sudah tidak sabar menunggu si Kepala Utusan melaksanakan kesanggupannya.
"Tunggu apalagi, Kepala Utusan?" desak Datu Pujung. Perlahan-lahan si Kepala Utusan mencoba untuk mengangkat pohon ulin itu, namun tidak bergerak sedikit pun. Melihat ketidakmampuan komandannya, seluruh anggota pasukan ikut membantu menarik tebangan pohon ulin. Tapi, usaha mereka tetap saja sia-sia. Jangankan pohon ulin itu bergeser, bergerak pun tidak. Kemudian senjata mereka mereka tebaskan ke batang tersebut, tetapi jangankan pohon itu terbelah, tebasan mereka membekas pun tidak padanya.
Datu Pujung hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Sambil mengawasi gerak-gerik lawannya, ia pun segera mendekati pohon itu. Dengan sebelah tangannya, ia menarik kayu ulin itu. Sebilah parang bungkulnya yang terhunus kemudian menebas kayu ulin itu hingga terpotong menjadi dua. Salah satu potongan sengaja ia lemparkan ke arah seluruh pasukan tersebut. Mereka pun lari terbirit-birit ke arah perahu.
"Tunggu pembalasan kami sebentar lagi!" ujar mereka mengumbar ancaman. Perahu mereka dayung dengan sekuat tenaga menuju ke jung di tengah sungai. Datu Pujung tidak menghiraukan ancaman itu. Dengan potongan kayu ulin yang lain, Datu Pujung meluncur ke sungai mengejar mereka. Dalam kejar-kejaran tersebut, Datu Pujung berhasil mendahului mereka tiba di atas jung. Pasukan naik di bagian depan jung, sedangkan Datu Pujung naik di buritan.
"Kalian semua memang tidak bisa diberi hati!", seru Datu Pujung penuh amarah. Ia mengambil pisau kecil dari balik bajunya, lalu mencungkil lambung jung itu. Dalam sekejap, air pun menggenangi jung. Sebuah hentakan kaki Datu Pujung membuat perahu bocor. Air memenuhi seluruh jung hingga tenggelam. Seluruh pasukan dan isi jung pun ikut tenggelam. Sejak itu, endapan lumpur dan batang-batang kayu yang hanyut di Sungai Barito selanjutnya menimbun jung itu hingga membentuk delta atau pulau.
Asal Mula Warik Pulau Kembang Bagaimana pula dengan Warik (kera) yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan.
Beberapa waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang merusak atau mengganggunya. Petugas kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini membawa dua ekor warik besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur.
Konon menurut ceritanya setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara gaib, tak diketahui kemana perginya. Sedangkan warik yang ditinggalkannya beranak pinak dan menjadi penghuni pulau kambang. Para orang tua dahulu ketika mengunjungi pulang kambang masih bisa melihat si Anggur yang memang berbeda dari warik biasa. Keberadaan warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang semakin menarik untuk dikunjungi.
Berdasarkan hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap keberadaan warik di pulau kambang ini diketahui ada dua kumpulan kera yang keluar dari persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama yang keluar sekitar pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung oleh kumpulan warik sip kedua yang berada di tengah pengunjung pulau kambang.
Kalau rombongan sip pertama tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati batas waktu operasional, maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu itu mungkin hanya sesama warik yang tahu. Begitulah asal muasal pulau Kambang beserta warik penghuninya. Tentang kebenarannya terpulang kepada Yang Maha Esa. Bahwa Pulau Kambang dan warik itu memang nyata dikelilingi sungai sekitarnya, tak perlu mempersoalkan keberadaannya. Tapi jangan lupa mengunjungi sebagai tempat wisata. Vihara Pulau Kembang Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi " penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman), oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu dan juga sebagai salah satu tempat ziarah orang Tionghoa.
Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul.Di pulau ini terdapat sebuah Vihara Cina yang sudah sangat tua dan banyak dikunjungi keluarga Cina untuk beribadah. Umumnya para pengunjung datang pada hari Minggu dan Vihara ini dijaga oleh sekumpulan kera berekor panjang yang banyak mendapatkan makanan dari pengunjung seperti kacang, pisang dan telur. Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sehingga mereka yang berasal dari keturunan Cinapun banyak yang mengunjungi pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan terhadap jasad yang berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa nadzar, terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan pulau itu.
Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian kambang (bunga), dan karena berlangsung sepanjang waktu terjadilah tumpukan kambang yang sangat banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan kambang yang begitu banyak. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk menyebutnya diberi nama Pulau Kambang.
Lama kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengkeramatkannya atau sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah melegenda itu. Sekarang pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang punya hajat tertentu dan berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan lainnya setelah mengunjungi pasar terapung. (Sumber : http://baritokualakab.go.id/)
0 komentar:
Posting Komentar